Halaman

Selasa, 31 Mei 2011

Game Online

Margaretha Soleman, M.Si, Psi menuliskan dampak buruk secara sosial, psikis, dan fisik dari kecanduan bermain game online dan cara-cara penyembuhannya.

SECARA SOSIAL:
Hubungan dengan teman, keluarga jadi renggang karena waktu bersama mereka menjadi jauh berkurang.
Pergaulan kita hanya di game on line saja, sehingga membuat para pecandu game online jadi terisolir dari teman-teman dan lingkungan pergaulan nyata.
Ketrampilan sosial berkurang, sehingga semakin merasa sulit berhubungan dengan orang lain.
Perilaku jadi kasar dan agresif karena terpengaruh oleh apa yang kita lihat dan mainkan di game online.

SECARA PSIKIS:
Pikiran kita jadi terus menerus memikirkan game yang sedang kita mainkan. Kita jadi sulit konsentrasi terhadap studi, pekerjaan, sering bolos atau menghindari pekerjaan.
Membuat kita jadi cuek, acuh tak acuh, kurang peduli terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling kita.
Melakukan apa pun demi bisa bermain game, seperti berbohong, mencuri uang, dll.
Terbiasa hanya berinteraksi satu arah dengan komputer membuat kita jadi tertutup, sulit mengekspresikan diri ketika berada di lingkungan nyata.

SECARA FISIK:
Terkena paparan cahaya radiasi komputer dapat merusak saraf mata dan otak
Kesehatan jantung menurun akibat bergadang 24 jam bermain game online. Ginjal dan lambung juga terpengaruh akibat banyak duduk, kurang minum, lupa makan karena keasyikan main.
Berat badan menurun karena lupa makan, atau bisa juga bertambah karena banyak ngemil dan kurang olahraga.
Mudah lelah ketika melakukan aktivitas fisik, kesehatan tubuh menurun akibat kurang olahraga. Yang paling parah adalah dapat mengakibatkan kematian.

Cara menyembuhkan para pecandu game online.

Unsur yang paling penting adalah niat, kebulatan tekad dan kontrol diri untuk dapat terlepas dari kecanduan game online dan kembali menata kehidupan yang terganggu akibat kecanduan itu.
Setelah ada niat, kita pun perlu mengakui bahwa kita tidak berdaya melawan keingian untuk bermain dan mengakui bahwa hidup kita jadi tidak terarah dan tidak teratur akibat game online itu.
Berdoa, minta pertolongan dan kekuatan Tuhan untuk dapat lepas dari kecanduan ini.
Buatlah daftar alasan mengapa ingin menghentikan kecanduan game on-line. Kita dapat bertanya ke keluarga atau teman dekat untuk membantu kita melengkapi daftar itu. Tempelkan daftar ini di tempat yang mudah dilihat oleh kita untuk membantu menguatkan komitmen kita.
Buatlah rencana kapan kita mau berhenti sepenuhnya. Kontrol diri sangat penting dalam hal ini. Kurangi secara bertahap frekuensi bermain game online.
Tuliskan keuntungan yang dirasakan selama mengurangi dan membatasi bermain game online. Ketika kita kembali bermain tanpa mengenal batas waktu setelah kita berhasil berhenti bermain, bukan berarti rencana kita gagal. Hal itu wajar terjadi. Yang terpenting adalah kita belajar dari pengalaman kita agar hal itu tidak terjadi lagi.

Sumber Referensi:

Rabu, 25 Mei 2011

The Story Of Galuh Fahlana

 
Terjun ke dalam dunia teknologi adalah impian saya, Galuh Fahlana yang bertekad untuk mencapai satu tujuan, yaitu menjadi seorang programmer handal. Dalam pencapaiannya itu sendiri, beberapa halangan harus dilalui dengan sabar dan penuh perjuangan. Dunia teknologi semakin pesat berkembang, menciptakan satu hal yang baru dan mudah serta menyenangkan. Dalam perkembangan teknologi yang kian pesat, menjadi pengikutnya adalah salah satunya untuk mencegah diri menjadi gaptek atau gagap teknologi.

Satu hal yang membuat saya ingin terjun kedalam dunia IT berawal ketika saya mempunyai sebuah komputer pada saat saya duduk di bangku kelas 4 SD. Dengan berbekal “keisengan” dan “keingintahuan”, saya mampu membuat komputer desktop tersebut berjalan. Walaupun hanya sebatas memasang kabel AC, monitor, printer USB, mouse, dan keyboard saya berfikir “semudah inikah merakit komputer?” karena pada masa itu, saya di beritahukan bahwa komputer tersebut berharga 4 juta rupiah dengan cara pembelian “rakitan”. Hati bergetar hebat dan tangan pun sudah terasa gatal, komputer langsung dinyalakan dan apa daya, saya terduduk lemas di depan monitor ketika saya melihat layar yang hanya menampilkan warna hitam dengan tulisan “Insert Proper Boot Setting”. “Ini kenapa? Ada yang salah? Rusak karena saya kah?” pertanyaan tersebut terasa mengisi kepala saya dengan beribu – ribu macam alasan yang akan saya siapkan bila di tanyakan oleh orang tua saya. “Oh, ini belum ada Sistem Operasinya jadinya begini, tidak apa – apa kok.” Jawab seorang mekanik komputer yang datang tidak lama saya selesai memasang kabel – kabel. Ternyata begini, ini begitu dan macam pengetahuan saya dapatkan pada saat itu. Ternyata, sebuah komputer tidak hanya selesai dan dapat di jalankan semudah saat semua kabel telah terhubung.

Beranjak SMP, keingintahuan akan komputer pun semakin kuat. Di tambah dengan adanya pelajaran komputer di SMP, tekad saya untuk mengenal jauh komputer pun semakin besar. Walau hanya belajar sebatas Ms. Word, Ms. Excel, dan mengetik 10 jari. Pada saat SMP, pengetahuan saya tentang komputer tidak bertambah karena melihat semua komputer yang di install di sekolah hanya berbasis Window 95-98.

3 Tahun SMP berlalu, kini saatnya SMA. Keingintahuan pun semakin bertambah besar karena adanya sebuah pelajaran komputer, akan tetapi kali ini saya kecewa. Berbataskan belajar sampai Ms. Word dan Ms. Excel, tidak jauh berbeda ketika saya duduk di bangku SMP kecuali sebuah aplikasi baru yang di pelajari, yaitu Ms. PowerPoint. Rasa iri pun timbul ketika mengetahui kebanyakan teman SMP saya menduduki sebuah SMK di daerah tersebut. Tidak ingin memendam harapan, saya pun belajar dari mereka yang duduk di bangku SMK yang mempelajari tentang komputer beserta isi – isinya. RAM, Prosesor, dan Mainboardpun saya. Prosesor Intel Pentium Celeron, berkecepatan 1.80 GHz didukung oleh RAM sebesar 128 MB, serta beralaskan sebuah mainboard ECS EliteGroup adalah komputer yang saya dapatkan 5 tahun silam yang kini tengah berbaring tak berdaya saat tombol power di tekan. Rusak, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Karena keisengan saya untuk menginstal komputer tersebut dengan sebuah Sistem Operasi Open Source buatan Linux berdistro Fedora 5. Hangus, chipset mainboard yang mengepulkan sedikit asap kini saya bongkar. Dengan membuka prosesornya, mengambil harddisk, dan mengambil RAMnya. Alhasil, kosonglah “komputer” yang telah berkerja menemani saya selama 5 tahun itu kini hanya bersisa power supply dan disket reader yang menempel pada casing.

Tidak lama setelah kejadian tersebut, seorang anak kelas 9 SMA dengan berbekal uang 300 ribu uang simpanan yang di sisihkan untuk keperluan komputer, berniat akan merakit sebuah komputer “klasik”. Anak tersebut adalah saya sendiri yang saat itu tengah berjalan menuju sebuah took komputer di daerah tidak jauh dari rumah saya. Karena merasa di luar kemampuan saya, saya pun pergi menjauh dari toko tersebut dan menuju rumah dari teman saya. Hanya dengan uang 50 ribu rupiah, saya dapat membawa pulang sebuah mainboard dengan prosesornya. Senang saya merasa dapat merakit komputer dengan kategori “klasik” ini. Sesampainya di rumah, sayapun merakit komputer ini. Dengan mainboard Intel bersoket 370 dan prosesor yang berkecepatan 750 MHz, saya masukkan ke dalam casing yang kosong setelah beberapa lama di tinggal penghuninya. Memasukkan RAM DDR1 128 MB yang saya simpan. Setelah memasang harddisk dan powersupply, saya pun bergemih untuk menghidupkan komputer tersebut, tiba – tiba “Lho, dimana letak colokan kabel monitornya?” Tanya dalam hati yang tidak beberapa lama menepak dahi dan langsung menuju ke toko komputer. VGA AGP 64 MB pun saya beli dan terapkan di dalam komputer beserta kipas pendingin casing dan pendingin prosesor yang dibeli bersama VGA tersebut.

Senang dalam hati dapat merakit komputer sendiri walaupun berjalan di kecepatan prosesor 750MHz dan RAM 128 MB. Pentium III adalah nama yang tercetak di atas prosesor tersebut. Untuk menyeimbangkan spesifikasi komputer, system operasi pun di downgrade dari XP menjadi ME (Windows Milenium Edition). Lamban terasa saat melakukan ‘first booting’, cepat di rasa ketika pilihan shutdown di pilih. Pentium III tidak lama menemani saya karena mainboard Amptron pun di beli dan memasang RAM DDR2 1 GB, VGA GeForce 256 MB, dan prosesor Celeron yang genap 6 tahun menemani. Akhir masa SMA pun hampir tiba, masa muda akan berlalu, pacarpun di dapat, satu hal yang menjadi pikiran. Jurusan apa yang akan saya pilih ketika di perguruan tinggi nanti? Pada saat itu, saya sudah merasa puas “bermain” dengan perangkat keras komputer. Satu hal yang mengganjal tentang bagian komputer yang tidak saya mengerti. Saat di rumah pun saya bermain game komputer, game dengan grafik yang halus serta berjalan dengan mulus. Ke ganjilan dalam hati pun terjawab, masih ada hal yang belum saya eksplorasi dalam komputer. “Bagaimana cara aplikasi ini berjalan dengan grafik yang baik? Bagaimana program ini berjalan sesuai keinginan?” Rentetan pertanyaan bak kereta pun muncul, memunculkan satu hal yang siap di masukkan ke dalam sebuah lemari bernama “tekad”. “Saya ingin membuat program yang dapat membantu manusia!”.

Teknik Informatika, jurusan yang tepat untuk tekad yang kuat. Walaupun tekad dalam diri saya mudah kendur dan kencang kembali. Tapi ini adalah tujuan saya, ini adalah hidup saya, ini adalah harapan saya dan seluruh manusia untuk mempermudah hidupnya di masa depan. Dengan keyakinan, saya dapat melanjutkan keinginan semua manusia untuk dapat mempermudah hidup maju ke arah revolusi teknologi dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia di bumi ini.
a